Sesungguhnya, problem filosofis yang kita hadapi hari ini adalah masih kaburnya dan belum kunjung jernihnya mendudukkan dua terminologi yang sebenarnya berbeda, tetapi cenderung kita anggap sama. Dua terminologi yang dimaksud adalah bangsa dan negara.
Secara epistemik, dua term tersebut sesungguhnya jika kita renungkan memiliki makna yang berbeda. Bangsa adalah sebuah kelompok masyarakat yang terikat sebab memiliki rasa kesamaan antara satu dan yang lain. Adapun negara adalah organisasi di sebuah wilayah yang memiliki supremasi tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Jika term pertama merujuk pada rasa, term kedua lebih bernuansa administratif dan legal formal.
Kejelasan epistemik dua term tersebut akan berguna bagi kita untuk menjawab sebuah pertanyaan, sesungguhnya Indonesia sebagai sebuah negara yang kita kenal sampai hari ini siapakah yang melahirkan dan membidaninya? Jawabannya tentu saja bukan bangsa Indonesia. Jawabannya adalah bangsa Ambon, Maluku, Sulawesi, Jawa, Sumatra, Papua dan semua ras yang bersemangat serta memiliki kesamaan nasib kala itu ingin terbebas dari penjajahan. Meminjam sejarawan Agus Sunyoto (2013), Semua ras tersebut, bisa diringkas dalam sebuah term yakni bangsa Nusantara.
Dalam perjalanan “melahirkan” Indonesia, penetapan Pancasila sebagai dasar negara merupakan suatu modal penting, Sebab itu adalah suatu transformasi budaya yang tidak mudah untuk memadupadankan sekaligus menyatukan adanya kepelbagaian. Bahkan, jika melihat fakta-fakta historis, bangsa Nusantara telah memiliki modal sosial yang sangat berharga, suatu karakter kepribadian yang khas. Karakter itu tecermin dari adanya kekayaan etnisitas, suku, ras, agama, dan golongan yang begitu plural. Indonesia memiliki lebih dari seribu suku bangsa, dengan dua suku besar Jawa dan Sunda, serta suku-suku besar lainnya, tetapi kita mampu membangun suatu kerukunan antarumat beragama yang telah menjadi teladan dunia.
Di samping itu. Indonesia juga merupakan negara yang mengikuti dinamika perkembangan modernitas sebagai sebuah tuntutan global. Dengan demikian, keunikan dari karakter kepribadian Nusantara yang khas ini dapat menggabungkan tiga pilar penting. Pertama, Islam sebagai sistem nilai dan agama yang dianut oleh mayoritas. Kedua, adanya sistem demokrasi Pancasila yang menjamin adanya kedaulatan di tangan rakyat sepenuhnya. Ketiga, tantangan adanya modernitas di sisi yang lain. Sekali lagi, penggabungan tiga aspek penting dalam suatu harmoni kehidupan kebangsaan dan kenegaraan tidaklah mudah.
Sekali lagi kita patut bersyukur atas ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila pada hakikatnya adalah Pemaknaan persatuan dan titik temu diantara para pendiri bangsa.
(Andika Dian Saputra)